Tindakan korupsi ternyata telah ada semenjak jaman pemerintahan jaman lampau lho, yaitu di masa pemerintahan Mesir Kuno. Berikut ini akan Asaljeplak berikan sejarah serta asal-usulnya.
Ketika ekonomi global berkembang secara signifikan selama abad ke-20, tingkat korupsi semakin meningkat setiap tahunnya. Sulit untuk memperkirakan besaran dan tingkat korupsi secara global karena kegiatan ini dilakukan secara rahasia oleh orang-orang yang berkuasa, baik di pemerintahan hingga skala perusahaan.
Meski sulit diukur, jelas bahwa korupsi yang merajalela akan dapat menghambat banyak hal dari sisi ekonomi, termasuk tetapi tidak terbatas, pada investasi langsung swasta dan asing, stabilitas keuangan makro, pendidikan dan produktivitas, serta pendapatan pajak.
Daftar Isi
Apa itu Korupsi?
Pertama-tama mari kita cari tahu, apakah yang dimaksud dengan korupsi? Terdapat beberapa definisi yang menjelaskan mengenai korupsi, termasuk kegiatan di dalamnya.
Korupsi berasal dari kata latin corruptus yang berarti:
- sesat , rusak
- terbuang
- terkontaminasi
- tergoda
Menurut Kamus Oxford, definisi korupsi adalah “perilaku tidak jujur atau curang oleh mereka yang berkuasa, biasanya melibatkan penyuapan”.
Sementara menurut Wikipedia, Korupsi adalah salah satu bentuk ketidakjujuran atau tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi yang diberi wewenang untuk memperoleh keuntungan atau penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum:
- Kegiatan korupsi dilakukan oleh orang atau sekumpulan orang yang memiliki wewenang dan kuasa
- Kegiatan korupsi mencakup penyuapan dan penggelapan dana
- Kegiatan korupsi memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
- Kegiatan korupsi memiliki banyak dampak buruk; baik secara langsung maupun tidak langsung.
Korupsi Politik
Karena pembahasan kali ini terkait dengan sistem pemerintahan, kita akan berfokus pada Korupsi Politik atau yang juga sering disebut dengan istilah Malpolitik.
Apakah yang dimaksud dengan Korupsi Politik?
Korupsi Politik adalah pemanfaatan kekuasaan oleh pejabat pemerintah yang bertindak dalam kapasitas resmi untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak sah.
Baik dilakukan di dalam institusi pemerintahan maupun dengan orang-orang diluar pemerintahan yang memiliki kepentingan.
Bentuk korupsi politik bervariasi, tetapi dapat mencakup penyuapan, pemerasan, kronisme / cronyism (keberpihakan tanpa melihat kualifikasi), nepotisme, parokialisme (hal yang menyangkut keagamaan), penggunaan pengaruh berdasarkan jabatan dan koneksi, dan penggelapan dana.
Korupsi yang dilakukan oleh pemerintah suatu daerah atau negara tentunya akan banyak menghambat sektor pembangunan, perekonomian, dan sosial secara umum.
Tentunya yang paling banyak dirugikan adalah rakyat atau penduduk daerah atau negara yang memiliki pejabat yang korup.
Korupsi sendiri bukan merupakan suatu hal yang baru, terutama korupsi politik. Kegiatan korupsi ternyata sudah dilakukan sejak berabad-abad silam.
Namun, mulai sejak kapan korupsi terjadi dalam suatu pemerintahan?
Siapakah yang pertama kali di dunia melakukan kegiatan korupsi di dalam sistem pemerintahannya?
Sejarah Korupsi Pertama pada Sistem Pemerintahan
Menurut catatan sejarah yang berhasil diketahui, korupsi pertama di dunia yang dilakukan dalam sistem pemerintahan, dimulai oleh dinasti Mesir Kuno, dimana catatan sejarah Mesir kuno menceritakan adanya kegiatan korupsi dalam sistem peradilan hukumnya.
Bagaimana awal mula korupsi terjadi pada pemerintahan di Mesir Kuno?
Untuk mengetahuinya, pertama-tama kita harus memahami sedikit mengenai sejarah perkembangan Mesir Kuno, yang merupakan cikal bakal terbentuknya dasar hukum, dan kemudian penerapannya pada rakyat mesir kuno pada jaman tersebut, untuk dapat memahami bagaimana kegiatan korupsi di jaman mesir kuno dapat terjadi.
Sejarah Singkat Mesir Kuno
Kebudayaan Mesir Kuno memiliki masa yang sangat panjang, yaitu berlangsung sekitar 8 milenium alias sekitar delapan ribu tahun, mulai dari tahun 8000 SM – 30 SM apabila dihitung sejak jaman paleolitikum yang merupakan awal mula suku-suku manusia mendiami pesisir sungai Nil di Mesir.
Catatan sejarah Mesir dalam bentuk tulisan tertua adalah pada Periode Predinastik, yaitu pada akhir Periode Predinastik sekitar tahun 3400 dan 3200 SM oleh Suku Naqada III, yang juga umum dikenal dengan istilah periode 0 (Zero).
Unifikasi Mesir Kuno
Periode unifikasi Mesir menjadi satu dinasti kerajaan sendiri baru dimulai pada sekitar tahun 3150 SM pada masa dinasiti yang dikenal dengan Kerajaan Lama (Old Kingdom), dan masa keemasan (golden age) mereka dicapai pada periode Kerajaan Baru (New Kingdom) yang berlangsung antara tahun 1549 SM sampai tahun 1077 SM (sekitar 472 tahun).
Keruntuhan Mesir Kuno
Keruntuhan kebudayaan Mesir Kuno sendiri bisa dibilang terjadi secara bertahap apabila dilihat dari kekuasaan yang dimiliki bangsa Mesir asli, yang diawali dari invasi oleh kerajaan Nubia (saat ini Sudan), kemudian Persia (saat ini Iran), dan invasi Yunani oleh Alexander the Great (Kerajaan Macedonia) yang menyebabkan Mesir dikuasi oleh dinasti keturunan Yunani yang biasa disebut dinasti Ptolemy.
Dinasti Ptolemy, yang terkenal dengan ratu mereka, Cleopatra, akhirnya jatuh ke tangan Romawi akibat invasi dari Oktavianus Augustus pada tahun 30 SM dan akhirnya menjadikan Mesir sebagai bagian dari provinsi Romawi dan bukan lagi berbentuk kerajaan.
Lamanya kekuasaan Mesir Kuno tersebut menggambarkan betapa besar dan kayanya kebudayaan serta peradaban mesir kuno pada masa itu, meskipun tetap tidak terlepas dari konflik dan peperangan.
Bicara tentang Mesir Kuno tentunya jangan membayangkan padang pasir tandus yang sering kita lihat saat ini, karena pada kala itu, terutama di daerah pesisir sungai Nil, bisa terbilang sangat subur dan jauh lebih hijau dibandigkan sekarang, dan itu sebabnya kebudayaan Mesir Kuno bertahan selama ribuan tahun dan menjadi sasaran dari invasi negara-negara lain.
Hukum di Mesir Kuno
Beberapa catatan tertulis atau artefak yang telah ditemukan dari Periode Predinastik, menyebutkan bahwa hukum dasar dan larangan telah diberlakukan di Mesir Kuno sejak Periode Predinastik (6000 – 3050 SM). Namun sayangnya catatan yang ada tidak menjelaskan dengan lengkap mengenai hukum yang berlaku pada saat itu.
Pada saat pemerintahan dipimpin oleh dinasti kelima, pemujaan terhadap dewa matahari, Ra, semakin kuat dan meluas. Pemujaan terhadap dewa-dewa inilah yang nantinya merupakan cikal bakal terbentuknya dasar hukum pada jaman mesir kuno.
Pengaruh Agama Terhadap Hukum dan Kehidupan Mesir Kuno
Sekitar tahun 2613 – 2181 SM, penduduk Mesir Kuno mulai memuja salah satu Dewi yang disebut Maʽat. Ma’at dikatakan telah lahir dari dewa matahari Ra pada awal penciptaan melalui kekuatan Heka.
Ma’at adalah seorang Dewi kebenaran, keadilan, kebijaksanaan, bintang, hukum, moralitas, keteraturan, harmoni, musim, dan keseimbangan kosmik.
Menurut catatan sejarah, orang mesir kuno memandang Ma’at tidak hanya sebagai Dewi, namun lebih sebagai suatu konsep prinsip etika dan moral yang diharapkan untuk diikuti oleh setiap warga negara Mesir Kuno dalam menjalankan kehidupan sehari-hari mereka.
Warga mesir kala itu diharapkan dapat berperilaku hormat dan benar dalam hal-hal yang melibatkan keluarga, komunitas, bangsa, lingkungan, dan dewa.
Perwujudan Ma’at terangkum dalam Tujuh Prinsip Ma’at Mesir Kuno, yaitu Kebenaran, Keseimbangan, Ketertiban, Harmoni, Kebenaran, Moralitas, dan Keadilan.
Berdasarkan literatur Mesir Kuno yang ditemukan mengenaik penggambaran praktik hukum Mesir kuno, Ma’at adalah simbol semangat untuk menerapkan keadilan. Ma’at merepresentasikan nilai-nilai dasar yang melatarbelakangi penerapan keadilan yang harus dijalankan dengan semangat kebenaran dan keadilan.
Berdasarkan hal tersebut, maka terbentuklah konsep hukum pada Periode Old Kingdom pada dinasti kelima yang berlandaskan Ma’at.
Walaupun undang-undang yang berlaku pada Periode Old Kingdom tidak dapat diketahui secara spesifik, namun diketahui bahwa Sistem hukum pertama kali dibentuk secara regional, di masing-masing distrik yang disebut nomes, dan dipimpin oleh seorang nomarch atau gubernur dan para pengurusnya.
Bentuk hukum yang paling awal di tingkat daerah cukup sederhana, dimana hakim biasanya juga merupakan pendeta yang memilih untuk melakukan perundingan hukum dengan dewa untuk mencapai putusan pengadilan, dibandingkan mempertimbangkan bukti dan mendengarkan kesaksian.
Sentralisasi dan Desentralisasi Hukum Mesir Kuno
Pada saat-saat akhir Periode Old Kingdom, hukum peradilan regional ini telah berkembang menjadi birokrasi dan tersentralisasi (terpusat) di bawah naungan orang kepercayaan Raja yang biasa disebut dengan Vizier/Wazir (bukan wasir ya).
Para ahli sejarah percaya bahwa praktik hukum yang terpusat inilah yang perlahan-lahan mengikis kesehatan ekonomi Mesir, dan menjadikan ekonomi Mesir saat itu tidak lagi mampu untuk mendukung pemerintahan terpusat.
Ketika kekuasaan raja berkurang, para nomarch (Gubernur) mulai menantang supremasi jabatan raja. Hal ini, ditambah dengan musim kekeringan parah yang berlangsung selama 50 tahun, antara 2200 dan 2150 SM, diyakini telah menyebabkan rakyat mengalami kelaparan dan perselisihan selama 140 tahun, dan memasuki Periode Menengah Pertama (First Intermediate Period).
Periode Menengah Pertama yang berlangsung selama 190 tahun, antara tahun 2181–1991 SM adalah awal mula kembalinya desentralisasi hukum. Dimana setiap distrik yang tidak perlu lagi membayar upeti pada raja, secara perlahan menjadi semakin makmur.
Memasuki Periode Middle Kingdom, Raja Kembali berkuasa dan berhasil mengembalikan stabilitas dan kemakmuran negara secara keseluruhan, namun pemerintahan yang berlangsung selama 400 tahun (2134–1690 SM) dan telah dipimpin oleh 4 dinasti (dinasti 11-14) ini akhirnya runtuh akibat perang dan banjir besar.
Kemudian Mesir Kuno Kembali memasuki Periode Menengah Kedua yang berlangsung selama 125 tahun (1674–1549 SM). Periode ini diisi dengan peperangan dan perebutan daerah kekuasaan.
Hingga akhirnya Mesir Kuno memasuki Periode New Kingdom yang berlangsung selama sekitar 500 tahun (1549–1069 SM).
Struktur Hukum di Mesir Kuno
Periode New Kingdom merupakan periode dimana hukum di Mesir Kuno memiliki catatan sejarah lebih lengkap dibandingkan pada periode-periode sebelumnya.
Pada periode ini digambarkan bahwa sistem hukum yang berlaku adalah sistem hukum sentralisasi sekaligus desentralisasi, dimana badan hukum atau pemerintahan telah memiliki struktur.
Konsep hukum yang digunakan masih berdasarkan Ma’at, namun ditambah dengan seperangkat aturan yang telah disepakati dan dirumuskan oleh orang-orang yang dianggap ahli di lapangan.
Pada periode ini penanganan hukum dapat dilakukan di masing-masing distrik; dimana sistem peradilan telah dibangun dan dijalankan dengan mempertimbangkan apakah adanya bukti atas pelanggaran aturan yang ada. Sistem ini juga yang melahirkan profesi hakim professional (bukan pendeta) yang diangkat untuk memimpin pengadilan.
Periode ini juga mencatat adanya pembentukan angkatan polisi pertama yang menegakkan hukum, menahan tersangka, dan dapat bersaksi di pengadilan.
Oleh karena sistem hukum dan peradilan telah dibentuk, maka dimulailah sistem pemerintahan berbasis hukum dengan peraturan yang lebih kompleks.
Tugas dan Wewenang Pejabat Negara Mesir Kuno
Hukum yang telah dibentuk, telah menciptakan posisi “Pejabat Negara”, dimana pada saat itu, di puncak hierarki peradilan adalah Pharaoh alias Fir’aun, yang merupakan wakil para dewa. Pharaoh bertanggung jawab untuk memberlakukan hukum, memberikan keadilan, dan memelihara hukum dan ketertiban.
Di bawah Pharaoh adalah para Vizier, yang diangkat langsung oleh Pharaoh dan memiliki tugas untuk mengawasi jalannya negara, seperti seorang perdana Menteri sekaligus mahkamah agung.
Kemudian di bawah Vizier, terdapat Kenbet yang merupakan dewan tetua distrik, yang bertanggung jawab atas keputusan dalam kasus pengadilan yang melibatkan klaim dan sengketa kecil.
Sementara, kasus-kasus yang lebih serius yang melibatkan pembunuhan, sengkata tanah besar-besaran, dan perampokan makam dirujuk ke Great Kenbet, yang dipimpin langsung oleh Vizier atau bahkan oleh Pharaoh sendiri.
Tata Cara Peradilan Mesir Kuno
Di dalam pengadilan, penggugat dan tergugat diharapkan untuk mewakili diri mereka sendiri dan diminta untuk bersumpah bahwa mereka mengatakan yang sebenarnya. Disini bisa disimpulkan bahwa profesi pengacara belum ada pada jaman tersebut.
Perlu diketahui juga bahwa pada jaman tersebut rakyat mesir kuno percaya bahwa “seseorang bersalah sampai terbukti tidak bersalah karena, jika ia tidak bersalah, maka seseorang tidak akan dituduh melakukan suatu pelanggaran.”
Kebalikan dengan apa yang dipercayai oleh masyarakat modern saat ini, dimana adanya asas praduga tak bersalah, yaitu “seseorang tidak akan disebut bersalah, sampai terbukti ia melakukan pelanggaran.”
Jenis Hukuman di Mesir Kuno
Dalam beberapa kasus, negara mengambil peran sebagai jaksa dan hakim, dan dapat menyiksa terdakwa maupun saksi dengan tindakan penganiayaan untuk mendapatkan pengakuan dan nama-nama rekan konspirator, atau untuk saksi lebih ditekankan pada kebenaran kesaksiannya yang dapat berupa pembelaan atau melawan terdakwa.
Apakah itu tuntutan sepele atau serius, maka juru tulis pengadilan mendokumentasikan keluhan, kesaksian, dan putusan kasus untuk referensi di masa mendatang.
Selain itu jika seseorang telah dituduh melakukan kejahatan, namun setelah pengadilan akhirnya terbukti bahwa ia tidak bersalah, maka orang atau terdakwa tersebut tetap akan tercatat sebagai tersangka kejahatan atau mantan tersangka.
Pelabelan mantan tersangka itu dianggap perlu dilakukan oleh pemerintahan kala itu sebagai bentuk pencegahan pelanggaran hukum. Orang diharapkan akan berpikir dua kali sebelum melakukan pelanggaran atau kejahatan.
Karena hukum didirikan di atas Tujuh Prinsip Ma’at yang sederhana, pada awalnya hukum didasarkan pada pendapat saat itu tentang benar dan salah. Oleh sebab itu hukuman akan sangat tergantung pada kejahatan yang telah dilakukan, dan akibatnya para pelanggar hukum seringkali mendapatkan hukuman yang berat jika dibandingkan dengan masa sekarang.
Ada banyak hukuman bagi yang melanggar hukum pada jaman itu, tergantung pada beratnya pelanggaran tersebut.
Hukuman untuk kejahatan ringan meliputi pengenaan denda, cambukan, sayatan pada wajah, atau pengasingan.
Sementara untuk kejahatan berat seperti pemerkosaan, pembunuhan dan perampokan makam, maka akan dihukum dengan eksekusi berupa pemenggalan kepala, ditenggelamkan di sungai Nil, atau dibakar hidup-hidup di tiang. Hukuman juga bisa diberikan kepada keluarga dari si pelaku kejahatan meskipun tidak terlibat.
Oleh karena adanya label “mantan tersangka” tersebut, suatu tuduhan atas pelanggaran hukum itu dapat merusak nama baik dan mempermalukan warga negara yang tidak bersalah, maka memberikan tuduhan palsu, dianggap sebagai pelanggaran berat.
Begitu pun dengan saksi palsu: siapa pun yang dengan sengaja berbohong kepada pengadilan tentang suatu kejahatan dapat dikenakan sanksi, setara dengan kejahatan berat.
Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk menentukan kesalahan tersangka dan menjatuhkan hukuman yang tepat, sementara orang yang berbohong di pengadilan dianggap mempertanyakan keefektifan hukum, yang berarti mempertanyakan kebenaran dewa.
Korupsi dan Keruntuhan New Kingdom
Setelah pemerintahan dan hukum pada Periode New Kingdom berlangsung cukup baik selama 300 tahun, Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada konsep Ma’at yang telah mengatur kehidupan masyarakat dan budaya Mesir selama ribuan tahun.
Pada akhir masa pemerintahan Ramses III (1186-1155 SM), kepercayaan pada kedaulatan ma’at mulai runtuh ketika Pharaoh Ramses III tampak kurang mementingkan kesejahteraan rakyatnya dibandingkan dengan kehidupannya di istana.
Ramses III dianggap telah gagal untuk menegakkan dan mempertahankan ma’at dan ini mempengaruhi semua orang dari atas ke bawah dalam hierarki struktur sosial Mesir
Korupsi di Dalam Penegakan Hukum Mesir Kuno
Pada saat itu, perampokan makam telah menjadi hal yang lebih umum, semakin banyak munculnya saksi-saksi palsu dalam sistem pengadilan, dan bahkan aparat penegak hukum menjadi korup.
Sebelumnya kesaksian dari seorang petugas polisi dianggap benar dan mutlak, namun pada saat itu, polisi banyak melakukan tindakan tuduhan palsu terhadap seseorang, membawa mereka ke pengadilan, meminta mereka dihukum, dan kemudian mengambil apa pun yang polisi inginkan dari harta tersangka.
Selain itu para perampok makam mulai menyuap polisi, juru sita, atau juru tulis pengadilan, dari hasil jarahan makam yang mereka lakukan. Bahkan hakim-hakim pengadilan telah menjadi penadah barang-barang jarahan makam tersebut.
Korupsi di Bidang Pemerintahan Mesir Kuno
Vizier yang seharusnya mewujudkan dan menegakkan keadilan dan keseimbangan negara juga sibuk memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, Pharaoh, yang seharusnya memelihara fondasi seluruh peradabannya, saat ini lebih tertarik pada kenyamanan dan kepuasan egonya sendiri daripada tanggung jawab administrasi hukumnya.
Korupsi yang terjadi secara sistemik ini terus berlangsung selama 200 tahun, dalam Periode Akhir New Kingdom, sepanjang kepemimpinan Dinasti ke 20, hingga kejatuhan Periode ini yang terjadi akibat perang perebutan daerah kekuasaan yang menghabiskan banyak dana, dan meletusnya gunung berapi Hekla yang menyebabkan polusi udara dan mematikan tanaman selama dua dekade.
Korupsi di Bidang Pekerjaan
Insiden korupsi terkenal lainnya terjadi saat pembangunan makam di Luxor, tempat para seniman dan pemotong batu tinggal di sebuah situs bernama Deir-el-Medina atau Set Ma’at.
Pada masa pemerintahan Ramses III, terjadi keterlambatan pembayaran para pekerja dan kekurangan makanan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para pekerja memutuskan untuk tidak bekerja dan melakukan pemogokan, kecuali mereka mendapat makanan dan gaji mereka dibayarkan. Gagasan untuk melakukan demo demi mencapai keuntungan pribadi tidak pernah terjadi sebelumnya.
Selama periode ini dan dengan tidak adanya pembayaran upah serta keterbatasan makanan, beberapa pejabat korup mendorong para pekerja untuk mencuri properti kuil dan menjualnya kepada mereka. Ini adalah salah satu korupsi paling awal yang tercatat dalam sejarah.
Korupsi di Bidang Agama, Hukum, dan Kerajaan
Saat Mesir Kuno memasuki era berikutnya yaitu Periode Menengah Ketiga (1069 – 525 SM), sejarah mencatat bahwa sistem hukum Kembali kepada metodologi Periode Old Kingdom; yaitu pendeta yang bertindak sekaligus sebagai hakim, akan berkonsultasi dengan dewa mengenai putusan bersalah atau tidak bersalah terhadap terdakwa.
Selama Periode Menengah Ketiga, berdiri sebuah sekte yang bernama Sekte Amun, yang merupakan organisasi keagamaan paling kuat di Mesir, dan pengaruhnya yang besar saat itu bahkan hampir melampaui otoritas kerajaan.
Pada jaman ini para tersangka akan dibawa ke hadapan patung Amun dan dewa akan memberikan vonis. Vonis ini dilakukan oleh seorang pendeta yang bersembunyi baik di dalam atau di belakang patung yang dapat memberikan jawaban dengan cara yang sudah ditetapkan.
Metode pengadilan ini memungkinkan terjadinya banyak pelanggaran karena kasus-kasus didengar oleh seorang pendeta yang bersembunyi di sebuah patung, tanpa mendengar pertimbangan saksi atau bukti.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun kebanyakan berupa pertanyaan sederhana seperti “Benarkah kamu yang mencuri karpet itu?” dan bukan pertanyaan yang bersifat judisial.
Pengaruh pendeta yang semakin meluas ditambah dengan wewenang penegakan hukum yang mereka emban pun akhirnya menjadikan banyak dari mereka yang melakukan tindakan korupsi.
Hal ini terutama sangat nyata pada saat pemerintahan ratu Hatshepsut, yang meskipun terbilang sukses dalam hal pembangunan Mesir, eksplorasi, dan juga perdagangan, tetapi diduga menjalankan praktik korupsi dan kronisme, bekerja sama dengan salah satu pendukungnya yang merupakan tokoh berpengaruh di dalam sekte Amun dan dijadikan sebagai kepala administrasi dari harta di seluruh kuil di Mesir, pemimpin dari setiap pendeta Amun, serta menjadi Vizier di kota Thebes.
Hatshepsut juga menjalin hubungan dengan kepala arsiteknya yang membuahkan anak perempuan satu-satunya, yang mana hal ini diketahui oleh pendukungnya tersebut yang menggunakan informasi itu untuk memperluas pengaruhnya dan juga harta kekayaannya.
Dampak Korupsi
Tindakan korupsi memang sepertinya sulit dipisahkan dari kebudayaan manusia, bahkan pada salah satu peradaban tertua dan terpanjang di sejarah manusia yaitu peradaban Mesir Kuno.
Banyak faktor yang akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi, mulai dari faktor kesejahteraan, ekonomi, agama, dan tentunya politik serta kekuasaan.
Bahkan korupsi bisa terjadi pada masa pemerintahan yang sedang jaya dan sukses, seperti pada pemerintahan Hatsheptut, meskipun lebih kentara dan merajalela di jaman yang sedang dilanda kesulitan dan kelaparan seperti pada masa pemerintahan Ramses III.
Di era modern ini, Bank Dunia memperkirakan suap internasional melebihi US $ 1,5 triliun per tahun, atau 2% dari PDB global dan sepuluh kali lebih banyak dari total dana bantuan global. Perkiraan lain lebih tinggi pada 2-5% dari PDB global.
Korupsi merembes ke semua lapisan masyarakat dari pegawai negeri tingkat rendah yang menerima suap kecil hingga para pemimpin nasional yang mencuri jutaan dolar.
Transparency International (TI) memperkirakan mantan presiden Indonesia Suharto menyedot mulai dari $ 15 miliar hingga $ 35 miliar untuk keuntungan pribadi. Ferdinand Marcos dari Filipina, Mobutu Sese Seko dari Zaire dan Sani Abacha dari Nigeria masing-masing mungkin telah menggelapkan $ 5 miliar.
Korupsi telah menjadi gaya hidup di banyak negara. Pada tahun 2011, Transparency International (TI) melaporkan bahwa dua pertiga orang Bangladesh dan lebih dari separuh orang India telah membayar suap selama 12 bulan sebelumnya.
Pada 2017, dilaporkan lebih lanjut bahwa secara global satu dari empat orang telah membayar suap dalam 12 bulan sebelumnya untuk mengakses layanan publik. Hampir 57% orang di seluruh dunia merasa pemerintah mereka melakukan tindakan buruk untuk memerangi korupsi. Hanya 30% yang menganggap pemerintah mereka baik-baik saja.
Studi TI lainnya pada tahun 2017 menunjukkan secara global sekitar sepertiga orang menganggap presiden, perdana menteri, pejabat pemerintah pusat dan daerah, eksekutif bisnis, perwakilan terpilih, dan petugas polisi yang korup.
Korupsi sangat menghambat pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi. Pada 2017, hampir 10% orang Asia, sekitar 400 juta , hidup dalam kemiskinan ekstrem. Korupsi menyedot dana yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan.
Negara-negara seperti Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Nepal, Thailand, dan Filipina semuanya menghadapi masalah korupsi yang meluas.
Jika negara berkembang dapat mengendalikan korupsi dan menegakkan supremasi hukum, Bank Dunia memperkirakan pendapatan per kapita dapat meningkat empat kali lipat dalam jangka panjang. Rata-rata, sektor bisnis bisa tumbuh lebih cepat 3%. Korupsi juga merupakan pajak de facto atas investasi langsung asing, yang jumlahnya sekitar 20%.
Pengendalian korupsi dapat meningkatkan banyak indikator sosial ekonomi, termasuk menurunkan angka kematian bayi hingga 75%.
Kesimpulan
Gandhi berkata: “Dunia memiliki cukup untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk keserakahan semua orang.”
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia, mau tidak mau potensi korupsi juga meningkat.
Karenanya, walaupun terbilang sangat sulit untuk dihilangkan, dari kehidupan manusia minimal yang bisa kita lakukan adalah dengan tidak melakukan tindakan korupsi tersebut sekecil apapun di lingkungan kita sendiri, demi mencapai kehidupan yang lebih sejahtera secara keseluruhan, dengan harapan banyak orang memiliki cita-cita yang serupa.